MARGINALISASI
DAN KEKUASAAN DALAM KASUS HUKUM
PADA
HARIAN KOMPAS: ANALISIS WACANA KRITIS
PERSPEKTIF THEO VAN LEEUWEN
oleh
MEZRI HELTI
A. PENDAHULUAN
Marginalisasi
dan kekuasaan adalah dua fenomena sosial yang selalu hidup dalam
masyarakat. Marginalisasi hadir dan
menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu yang tidak memiliki kemampuan dan
kekuatan dari berbagai aspek dan sudut pandang sosial. Marginalisasi membawa
dampak adanya pemisahan antara satu kelompok dengan kelompok lain, dan membawa
akibat buruk tehadap kelompok yang
dimarginalkan. Sedangkan kekuasaan hadir sebagai suatu bentuk kekuatan yang
mampu mengontrol orang lain atau kelompok lain yang tidak mendominasi.
Kekuasaan mampu mempengaruhi cara pandang, sistem, aturan, pengetahuan, dan
semua unsur dalam kehidupan manusia.
Media
massa sebagai salah satu sarana penyalur informasi, mampu membentuk pandangan
dunia tentang berbagai persoalan kehidupan yang direpresentasikannya. Media
mampu membangun cara berpikir khalayak tentang sesuatu, dan khalayak pun seringkali
melakukan pembenaran terhadap apa yang telah disampaikan oleh media. Sejalan
dengan pernyataan di atas, Eriyanto (2009: 172) mengemukakan bahwa media
merupakan agen terpenting dalam mendefinisikan suatu kelompok. Lewat
pemberitaan yang terus-menerus, media secara tidak langsung membentuk pemahaman
dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu.
Surat
kabar sebagai salah satu media yang digunakan masyarakat untuk memperoleh
berbagai informasi, telah menampilkan berbagai sudut pandang dalam pemberitaan.
Masing-masing surat kabar memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan
informasi, pesan, dan gagasan kepada khalayak. Bahkan, saat ini media dapat
digunakan untuk menyampaikan ideologi suatu kelompok. Dalam hal ini mendia
telah dijadikan alat untuk pembentukan kekuasaan. Contohnya, media dijadikan
alat untuk berkampanye suatu partai politik. Hal ini dilakukan dalam rangka
menyebarkan pandangan dan pemahaman kepada masyarakat, bahwa kelompok
tersebutlah yang terbaik. Semakin besar pengaruh kelompok tersebut, maka
semakin besar peluang terbentuknya kekuasan. Kekuasaan yang besar, akan menjadi
alat legitimasi diri atau kelompok, melalui wacana yang dibentuk oleh media.
Wacana
yang dibangun media juga dapat memposisikan seseorang atau sekelompok orang dalam
kondisi yang tidak menguntungkan. Kita seringkali melihat dan membaca adanya pemarginalan
dalam pemberitaan di media. Misalnya wacana yang berkaitan dengan terorisme.
Teroris adalah kelompok yang termaginalkan dalam wacana. Teroris ditampilkan
sebagai orang-orang yang membuat kerusuhan dan perlu dimusnahkan atau
diberantas. Teroris adalah orang-orang yang menimbulkan rasa takut kepada
masyarakat karena berbagai aksinya. Media mampu mendefinisikan teroris sebagai
kelompok yang tidak patut diterima oleh masyarakat. Peristiwa pada tanggal 3
Juni 2013 lalu, yakni peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Poso, Sulawesi
Tengah, justru tidak menimbulkan rasa simpati dan kasihan oleh masyarakat
kepada pelaku. Peristiwa tersebut bahkan dihubungkan dengan masalah terorisme.
Hal ini disebabkan karena wacana yang telah terbentuk selama ini, bahwa
pemboman dan bom bunuh diri identik dengan teririsme. Dalam hal ini pelaku atau
aktor adalah orang-orang yang termaginalkan, karena wacana yang dibentuk media.
Wacana
yang dibuat oleh media mampu melindungi suatu kelompok dan memarginalkan kelompok
lain. Bahasa sebagai perwujudan wacana bagi media dapat dimanfaatkan untuk
praktik tertentu. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan antara wacana
dengan konteksnya diperlukan suatu analisis kritis terhadap wacana. Menurut Eriyanto
(2009:7), dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata sebagai
studi bahasa, tetapi bahasa dianalisis dihubungkan dengan konteks. Konteks
disini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di
dalamnya praktik kekuasaan.
Penelitian terhadap
analisis wacana dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu. Adapun
sudut pandang yang dijadikan sebagai dasar analisis dalam penelitian ini adalah
teori analisis wacana kritis berdasarkan sudut pandang Theo van Leeuwen. Theo
van Leeuwen membuat suatu model analisis yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana
peristiwa dan aktor-aktor sosial tersebut ditampilkan dalam media, dan
bagaimana suatu kelompok yang tidak punya akses menjadi pihak yang secara terus-menerus
dimarjinalkan (dalam Eriyanto, 2009: 172).
Pemarjinalan dan
kekuasaan, dapat dilihat dari dihadirkan (inklusi) atau tidak dihadirkannya (ekslusi)
suatu kelompok atau seseorang ini dalam teks. Model analisis Theo Van Leuween
ini dibagi dalam dua hal, yaitu exclusion
dan inclusion. Proses exclusion dibagi
menjadi (1) pasivasi, (2) nominalisasi, dan (3) penggantian anak kalimat.
Proses inclusion dibagi menjadi (1)
diferensiasi-indeferensiasi, (2) objektivasi-abstraksi (3)
nominasi-kategorisasi, (4) nominasi-identifikasi, (5) determinasi-indeterminasi,
(6) asimilasi-individualisasi, dan (7) Asosiasi-disasosiasi (dalam Eriyanto,
2009: 172-189).
Berdasarkan uraian di
atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis wacana berita dengan
menggunakan model analisis Theo Van Leuween. Analisis ini terbagi dalam dua
strategi, yaitu strategi exclusion dan
inclusion, yang terdapat pada berita harian Kompas.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan
dan Taylor dalam Moleong, 2004:1). Metode yang digunakan adalah metode
deskriptif, yaitu metode yang mendeskripsikan data untuk mendapatkan simpulan
secara umum. Menurut Nazir (2003: 54), metode penelitian deskriptif adalah
metode penelitian yang bertujuan untuk mendeskrpsikan, menggambarkan atau
melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Objek penelitian
adalah teks berita yang berkaitan dengan kasus hukum pada surat kabar harian
Kompas. Teks yang dijadikan data dalam penelitian ini, yaitu kasus hukum “Oknum
Polisi dan TNI Akan Diusut” tanggal 7 Mei 2013, kasus hukum sidang terorisme
yang berjudul “Belajar Buat Bom, Thorik Dituntut 8 Tahun” terbit tanggal 24 Mei
2013.
Data dianalisis
secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis
berdasarkan perspektif Theo Van Leeuwen. Dengan menggunakan pendekatan ini,
akan dilihat bagaimana media menampilkan aktor dalam pemberitaan. Penampilan aktor
dalam pemberitaan akan memberikan gambaran, apakah aktor tesebut memiliki
kekuasaan atau dimarginalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar