Minggu, 21 Juli 2013


MARGINALISASI DAN KEKUASAAN DALAM KASUS HUKUM
PADA HARIAN KOMPAS: ANALISIS WACANA KRITIS
 PERSPEKTIF THEO VAN LEEUWEN

oleh

MEZRI HELTI

A.  PENDAHULUAN
Marginalisasi dan kekuasaan adalah dua fenomena sosial yang selalu hidup dalam masyarakat.  Marginalisasi hadir dan menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan dari berbagai aspek dan sudut pandang sosial. Marginalisasi membawa dampak adanya pemisahan antara satu kelompok dengan kelompok lain, dan membawa akibat buruk tehadap  kelompok yang dimarginalkan. Sedangkan kekuasaan hadir sebagai suatu bentuk kekuatan yang mampu mengontrol orang lain atau kelompok lain yang tidak mendominasi. Kekuasaan mampu mempengaruhi cara pandang, sistem, aturan, pengetahuan, dan semua unsur dalam kehidupan manusia. 
Media massa sebagai salah satu sarana penyalur informasi, mampu membentuk pandangan dunia tentang berbagai persoalan kehidupan yang direpresentasikannya. Media mampu membangun cara berpikir khalayak tentang sesuatu, dan khalayak pun seringkali melakukan pembenaran terhadap apa yang telah disampaikan oleh media. Sejalan dengan pernyataan di atas, Eriyanto (2009: 172) mengemukakan bahwa media merupakan agen terpenting dalam mendefinisikan suatu kelompok. Lewat pemberitaan yang terus-menerus, media secara tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu.
Surat kabar sebagai salah satu media yang digunakan masyarakat untuk memperoleh berbagai informasi, telah menampilkan berbagai sudut pandang dalam pemberitaan. Masing-masing surat kabar memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan informasi, pesan, dan gagasan kepada khalayak. Bahkan, saat ini media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi suatu kelompok. Dalam hal ini mendia telah dijadikan alat untuk pembentukan kekuasaan. Contohnya, media dijadikan alat untuk berkampanye suatu partai politik. Hal ini dilakukan dalam rangka menyebarkan pandangan dan pemahaman kepada masyarakat, bahwa kelompok tersebutlah yang terbaik. Semakin besar pengaruh kelompok tersebut, maka semakin besar peluang terbentuknya kekuasan. Kekuasaan yang besar, akan menjadi alat legitimasi diri atau kelompok, melalui wacana yang dibentuk oleh media.
Wacana yang dibangun media juga dapat memposisikan seseorang atau sekelompok orang dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Kita seringkali melihat dan membaca adanya pemarginalan dalam pemberitaan di media. Misalnya wacana yang berkaitan dengan terorisme. Teroris adalah kelompok yang termaginalkan dalam wacana. Teroris ditampilkan sebagai orang-orang yang membuat kerusuhan dan perlu dimusnahkan atau diberantas. Teroris adalah orang-orang yang menimbulkan rasa takut kepada masyarakat karena berbagai aksinya. Media mampu mendefinisikan teroris sebagai kelompok yang tidak patut diterima oleh masyarakat. Peristiwa pada tanggal 3 Juni 2013 lalu, yakni peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, justru tidak menimbulkan rasa simpati dan kasihan oleh masyarakat kepada pelaku. Peristiwa tersebut bahkan dihubungkan dengan masalah terorisme. Hal ini disebabkan karena wacana yang telah terbentuk selama ini, bahwa pemboman dan bom bunuh diri identik dengan teririsme. Dalam hal ini pelaku atau aktor adalah orang-orang yang termaginalkan, karena wacana yang dibentuk media.
       Wacana yang dibuat oleh media mampu melindungi suatu kelompok dan memarginalkan kelompok lain. Bahasa sebagai perwujudan wacana bagi media dapat dimanfaatkan untuk praktik tertentu. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan antara wacana dengan konteksnya diperlukan suatu analisis kritis terhadap wacana. Menurut Eriyanto (2009:7), dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa, tetapi bahasa dianalisis dihubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
Penelitian terhadap analisis wacana dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu. Adapun sudut pandang yang dijadikan sebagai dasar analisis dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis berdasarkan sudut pandang Theo van Leeuwen. Theo van Leeuwen membuat suatu model analisis yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial tersebut ditampilkan dalam media, dan bagaimana suatu kelompok yang tidak punya akses menjadi pihak yang secara terus-menerus dimarjinalkan (dalam Eriyanto, 2009: 172).
Pemarjinalan dan kekuasaan, dapat dilihat dari dihadirkan (inklusi) atau tidak dihadirkannya (ekslusi) suatu kelompok atau seseorang ini dalam teks. Model analisis Theo Van Leuween ini dibagi dalam dua hal, yaitu exclusion dan inclusion. Proses exclusion dibagi menjadi (1) pasivasi, (2) nominalisasi, dan (3) penggantian anak kalimat. Proses inclusion dibagi menjadi (1) diferensiasi-indeferensiasi, (2) objektivasi-abstraksi (3) nominasi-kategorisasi, (4) nominasi-identifikasi, (5) determinasi-indeterminasi, (6) asimilasi-individualisasi, dan (7) Asosiasi-disasosiasi (dalam Eriyanto, 2009: 172-189).
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis wacana berita dengan menggunakan model analisis Theo Van Leuween. Analisis ini terbagi dalam dua strategi, yaitu strategi exclusion dan inclusion, yang terdapat pada berita harian Kompas.

B.  METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2004:1). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu metode yang mendeskripsikan data untuk mendapatkan simpulan secara umum. Menurut Nazir (2003: 54), metode penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang bertujuan untuk mendeskrpsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Objek penelitian adalah teks berita yang berkaitan dengan kasus hukum pada surat kabar harian Kompas. Teks yang dijadikan data dalam penelitian ini, yaitu kasus hukum “Oknum Polisi dan TNI Akan Diusut” tanggal 7 Mei 2013, kasus hukum sidang terorisme yang berjudul “Belajar Buat Bom, Thorik Dituntut 8 Tahun” terbit tanggal 24 Mei 2013.
Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis berdasarkan perspektif Theo Van Leeuwen. Dengan menggunakan pendekatan ini, akan dilihat bagaimana media menampilkan aktor dalam pemberitaan. Penampilan aktor dalam pemberitaan akan memberikan gambaran, apakah aktor tesebut memiliki kekuasaan atau dimarginalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar