Minggu, 21 Juli 2013


GAYA KRITIK DAN SINDIRAN SEBAGAI WUJUD EKSISTENSI DALAM PIDATO MEGAWATI SOEKARNO PUTRI

Mezri Helti
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang

A.  PENDAHULUAN
Retorika sebagai bentuk komunikasi menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia. Retorika mampu mengkonstruksikan argumen dan pandangan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Retorika memuat kekuatan, energi, emosi, dan pemikiran, yang dipancarkan melalui sebuah sistem dan tandatanda, termasuk di dalamnya bahasa yang ditujukan pada orang lain untuk mempengaruhi pendapat atau aksi mereka.
Retorika sebagai seni bertutur menggunakan bahasa sebagai medium utamanya. Oleh karena itu ada aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam retorika. Keraf (2010: 1) menyatakan ada dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika, yaitu pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik, serta pengetahuan tentang objek yang ingin disampaikan. Pengetahuan tentang bahasa dapat membantu seseorang menggunakan aturan-aturan bahasa dan simbol-simbol bahasa dalam menyampaikan pesan atau gagasan. Selain itu, pengetahuan tentang bahasa membantu seseorang menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya.
Bahasa sebagai simbol kekuatan retorika, telah digunakan manusia untuk berbagai kepentingan, baik kepentingan perorangan maupun kelompok. Keterbukaan arus komunikasi, menjadikan posisi bahasa sebagai alat untuk mempengaruhi dan mempersuasi orang lain. Tidak hanya itu, bahasa dijadikan alat untuk menanamkan ideologi suatu kelompok kepada kelompok lain. Bahasa adalah alat pertarungan yang dapat menguasai dan memarginalkan kelompok lain yang tidak mendominasi. Bahasa dapat dijadikan sebagai alat kritik dan sindiran terhadap penguasa yang dianggap tidak mampu  memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Bahasa adalah wujud eksistensi diri maupun kelompok di dalam masyarakat. Retorika sebagai suatu bentuk komunikasi adalah alat yang digunakan untuk semua kepentingan tersebut.
Retorika sebagai tuturan menggunakan berbagai bentuk gaya bahasa dalam penyampaiannya. Beberapa bentuk gaya bahasa yang digunakan dalam retorika, adalah gaya bahasa kritik, gaya bahasa sindiran (kiasan), dan gaya bahasa retorik. Sehubungan dengan  penelitian ini, untuk mengungkap makna dari suatu tuturan maka digunakan gaya bahasa kritik dan gaya bahasa sindiran.
Gaya kritik dan sindiran tidak hanya memaknai sebuah tuturan berdasarkan aspek kebahasaan atau penggunaan bahasa berdasarkan maknanya. Lahirnya sebuah kritik tidak terlepas dari konteks saat bahasa itu digunakan, yakni adanya pertimbangan situasi saat sebuah tuturan diungkapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, Eriyanto (2009:7) menyatakan bahwa bahasa dianalisis bukan hanya untuk menggambarkan aspek kebahasaan semata, tetapi juga dihubungkan dengan konteks. Konteks disini, berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Gaya kritik secara tidak langsung berusaha mencari kelemahan, menjatuhkan, dan memposisikan pihak yang dikritik pada posisi yang dianggap salah atau memiliki kekurangan. Demikian juga dengan gaya sindiran, dapat digunakan untuk mencari kelemahan seseorang atau sekelompok orang.
Kritik atau mengkritik memiliki makna kecaman atau tanggapan terhadap sesuatu (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 742). Mengkritik hakikatnya adalah mencari-cari kesalahan. Jika dihubungkan dengan situasi politik Indonesia saat ini, mengkrik adalah suatu hal yang biasa bahkan dengan bebas dapat dikemukakan. Masing-masing partai politik dapat dengan bebas memberikan kritikan kepada partai yang dianggap berseberangan dengan ideologi mereka. Bahkan kritikan dapat dengan bebas ditujukan kepada pemerintahan yang berkuasa. Gejala mengkritik yang terjadi di Indonesia saat ini, tidak hanya untuk mencari kesalahan dan kekurangan kelompok lain atau partai lain. Mengkritik dapat dijadikan sebagai wujud eksistensi diri atau kelompok. Dengan kata lain, kelompok yang memberikan kritikan, seolah-olah menempatkan diri mereka pada posisi yang benar dan lebih baik dari kelompok yang dikritik.
Menyindir atau sindiran memiliki makna yang hampir sama dengan mengkritik. Menyindir merupakan tidakan mencela atau mengkritik secara tidak langsung atau tidak terus terang (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 1311). Selain digunakan untuk mencari kelemahan dan kekurangan seseorang atau sekelompok orang, sindiran dapat memperkuat posisi dan eksistensi atau keberadaan pihak yang memberikan sindiran. Dengan memberikan sindiran, seolah-olah pihak tersebut memiliki sikap, tindakan dan pandangan yang lebih baik daripada pihak yang mendapatkan sindiran.
Retorika dengan gaya kritik dan sindiran bukanlah hal yang asing lagi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu kelompok atau partai, yang memiliki gaya kritik dan sindiran yang tajam terhadap pemerintahan adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum PDIP sangat dikenal berani dalam memberikan kritikan dan sindiran, terutama terhadap pihak pemerintahan atau penguasa. Sikap Megawati yang sering berlawanan dengan pihak penguasa, sering menjadi sorotan berbagai media di tanah air. Bahkan kritikan dan sindiran Megawati, lebih sering diarahkan secara pribadi kepada pimpinan negara Indonesia, yakni presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gaya kritik dan sindiran Megawati terhadap pemerintahan sering mewarnai setiap pidatonyo di berbagai acara di tanah air. Untuk memahami lebih mendalam tentang gaya krtik dan sindiran Megawati, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gaya kritik dan sindiran dalam pidato Megawati sebagai wujud eksistensi diri dan eksistensi partai PDIP.

MARGINALISASI DAN KEKUASAAN DALAM KASUS HUKUM
PADA HARIAN KOMPAS: ANALISIS WACANA KRITIS
 PERSPEKTIF THEO VAN LEEUWEN

oleh

MEZRI HELTI

A.  PENDAHULUAN
Marginalisasi dan kekuasaan adalah dua fenomena sosial yang selalu hidup dalam masyarakat.  Marginalisasi hadir dan menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan dari berbagai aspek dan sudut pandang sosial. Marginalisasi membawa dampak adanya pemisahan antara satu kelompok dengan kelompok lain, dan membawa akibat buruk tehadap  kelompok yang dimarginalkan. Sedangkan kekuasaan hadir sebagai suatu bentuk kekuatan yang mampu mengontrol orang lain atau kelompok lain yang tidak mendominasi. Kekuasaan mampu mempengaruhi cara pandang, sistem, aturan, pengetahuan, dan semua unsur dalam kehidupan manusia. 
Media massa sebagai salah satu sarana penyalur informasi, mampu membentuk pandangan dunia tentang berbagai persoalan kehidupan yang direpresentasikannya. Media mampu membangun cara berpikir khalayak tentang sesuatu, dan khalayak pun seringkali melakukan pembenaran terhadap apa yang telah disampaikan oleh media. Sejalan dengan pernyataan di atas, Eriyanto (2009: 172) mengemukakan bahwa media merupakan agen terpenting dalam mendefinisikan suatu kelompok. Lewat pemberitaan yang terus-menerus, media secara tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu.
Surat kabar sebagai salah satu media yang digunakan masyarakat untuk memperoleh berbagai informasi, telah menampilkan berbagai sudut pandang dalam pemberitaan. Masing-masing surat kabar memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan informasi, pesan, dan gagasan kepada khalayak. Bahkan, saat ini media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi suatu kelompok. Dalam hal ini mendia telah dijadikan alat untuk pembentukan kekuasaan. Contohnya, media dijadikan alat untuk berkampanye suatu partai politik. Hal ini dilakukan dalam rangka menyebarkan pandangan dan pemahaman kepada masyarakat, bahwa kelompok tersebutlah yang terbaik. Semakin besar pengaruh kelompok tersebut, maka semakin besar peluang terbentuknya kekuasan. Kekuasaan yang besar, akan menjadi alat legitimasi diri atau kelompok, melalui wacana yang dibentuk oleh media.
Wacana yang dibangun media juga dapat memposisikan seseorang atau sekelompok orang dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Kita seringkali melihat dan membaca adanya pemarginalan dalam pemberitaan di media. Misalnya wacana yang berkaitan dengan terorisme. Teroris adalah kelompok yang termaginalkan dalam wacana. Teroris ditampilkan sebagai orang-orang yang membuat kerusuhan dan perlu dimusnahkan atau diberantas. Teroris adalah orang-orang yang menimbulkan rasa takut kepada masyarakat karena berbagai aksinya. Media mampu mendefinisikan teroris sebagai kelompok yang tidak patut diterima oleh masyarakat. Peristiwa pada tanggal 3 Juni 2013 lalu, yakni peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, justru tidak menimbulkan rasa simpati dan kasihan oleh masyarakat kepada pelaku. Peristiwa tersebut bahkan dihubungkan dengan masalah terorisme. Hal ini disebabkan karena wacana yang telah terbentuk selama ini, bahwa pemboman dan bom bunuh diri identik dengan teririsme. Dalam hal ini pelaku atau aktor adalah orang-orang yang termaginalkan, karena wacana yang dibentuk media.
       Wacana yang dibuat oleh media mampu melindungi suatu kelompok dan memarginalkan kelompok lain. Bahasa sebagai perwujudan wacana bagi media dapat dimanfaatkan untuk praktik tertentu. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan antara wacana dengan konteksnya diperlukan suatu analisis kritis terhadap wacana. Menurut Eriyanto (2009:7), dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa, tetapi bahasa dianalisis dihubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
Penelitian terhadap analisis wacana dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu. Adapun sudut pandang yang dijadikan sebagai dasar analisis dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis berdasarkan sudut pandang Theo van Leeuwen. Theo van Leeuwen membuat suatu model analisis yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial tersebut ditampilkan dalam media, dan bagaimana suatu kelompok yang tidak punya akses menjadi pihak yang secara terus-menerus dimarjinalkan (dalam Eriyanto, 2009: 172).
Pemarjinalan dan kekuasaan, dapat dilihat dari dihadirkan (inklusi) atau tidak dihadirkannya (ekslusi) suatu kelompok atau seseorang ini dalam teks. Model analisis Theo Van Leuween ini dibagi dalam dua hal, yaitu exclusion dan inclusion. Proses exclusion dibagi menjadi (1) pasivasi, (2) nominalisasi, dan (3) penggantian anak kalimat. Proses inclusion dibagi menjadi (1) diferensiasi-indeferensiasi, (2) objektivasi-abstraksi (3) nominasi-kategorisasi, (4) nominasi-identifikasi, (5) determinasi-indeterminasi, (6) asimilasi-individualisasi, dan (7) Asosiasi-disasosiasi (dalam Eriyanto, 2009: 172-189).
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis wacana berita dengan menggunakan model analisis Theo Van Leuween. Analisis ini terbagi dalam dua strategi, yaitu strategi exclusion dan inclusion, yang terdapat pada berita harian Kompas.

B.  METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2004:1). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu metode yang mendeskripsikan data untuk mendapatkan simpulan secara umum. Menurut Nazir (2003: 54), metode penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang bertujuan untuk mendeskrpsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Objek penelitian adalah teks berita yang berkaitan dengan kasus hukum pada surat kabar harian Kompas. Teks yang dijadikan data dalam penelitian ini, yaitu kasus hukum “Oknum Polisi dan TNI Akan Diusut” tanggal 7 Mei 2013, kasus hukum sidang terorisme yang berjudul “Belajar Buat Bom, Thorik Dituntut 8 Tahun” terbit tanggal 24 Mei 2013.
Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis berdasarkan perspektif Theo Van Leeuwen. Dengan menggunakan pendekatan ini, akan dilihat bagaimana media menampilkan aktor dalam pemberitaan. Penampilan aktor dalam pemberitaan akan memberikan gambaran, apakah aktor tesebut memiliki kekuasaan atau dimarginalkan.